Perekonomian indonesia Setelah Perlawanan 1800


Perekonomian indonesia Setelah Perlawanan 1800
pada tahun 1800 karena berbagai permasalahan yang membebani perusahaan. Meskipun ekonomi Belanda meningkat kembali melalui sistem pajak tanah, perimbangan anggaran pemerintah telah terbebani dengan luar biasa atas pengeluaran-pengeluaran seperti Perang Diponegoro di Jawa dan Perang Padri di Sumatra, serta perang melawan Belgia pada tahun 1830 membawa Belanda ke jurang kebangkrutan. Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch ditunjuk oleh pemerintah Belanda untuk mengisi kembali anggaran negara yang kosong akibat berbagai pengeluaran luar biasa dengan mengeksploitasi sumber daya alam Hindia Belanda. Melalui cara ini, Belanda mampu menguasai seluruh wilayah di seluruh pulau Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1830, penguasaan Pulau Jawa oleh Belanda menjadi sangat strategis. Hal ini terjadi karena ditemukan cara yang lebih maksimal untuk menggenjot pendapatan dari sistem yang ada dengan memperkenalkan kebijakan pertanian dari pemerintah dengan sistem tanam paksa. Disebut cultuurstelsel (sistem budidaya) di belanda dan tanam paksa (forced perkebunan) di Indonesia, petani diwajibkan untuk memberikan hasil tani yang dapat dijual sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai bentuk pajak dengan jumlah tertentu, seperti gula atau kopi. Banyak dari pendapatan yang diinvestasikan kembali oleh Belanda untuk cadangan anggaran dari antisipasi kebangkrutan. Antara tahun 1830 dan 1870, pendapatan sebesar 1 miliar gulden diambil dari Indonesia, 25 persen pendapatan pertahun dibagikan kepada Pemerintah Belanda berupa dividen yang dimasukkan kedalam anggaran. Sistem ini menjadi salah satu bentuk kekejaman penjajahan Belanda terhadap petani yang menderita akibat pendapatan yang tidak layak yang berujung pada busung lapar dan wabah penyakit pada tahun 1840-an. 

Baca Juga : Perlawanan Sesudah 1800

Peta Hindia Bbelanda pada tahun 1818
Munculnya banyak pemberitaan tentang menderitanya petani Hindia Belanda di Pulau Jawa terkait sistem tanam paksa atau budidaya yang diterapkan Belanda untuk mengisi kembali kas negara yang kosong akibat mengalami pengeluaran luar biasa mulai menuai kecaman dan penolakan dari masyarakat Belanda sendiri, karena kebijakan ini dinilai tidak manusiawi. Kebijakan ini lantas digantikan dengan reformasi agraria pada masa Liberal yang mengatur bahwa pengusaha non-Belanda ikut diperbolehkan untuk tidak hanya menyewa lahan, tetapi juga diperbolehkan memliki lahan. Sejak itu investasi swasta mengalir masuk ke Hindia Belanda seperti pertambangan dan perkebunan. Belitung yang menjadi rumah dari pertambangan timah mendapatkan investasi dari sindikasi pembiayaan dari sekelompok pengusaha belanda, termasuk adik dari Raja William III. Pertambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 Jacob Nienhuys memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli (Sumatra Timur) untuk menggunakan lahan yang ada untuk digunakan sebagai lahan perkebunan tembakau. Hindia belanda secara resmi membuka kesempatan bagi para perusahaan swasta dan Pengusaha Belanda menanamkan investasi pada lahan perkebunan dan pabrik pengolahan hasil tani. Produksi gula meningkat dua kali lipat antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina berkembang, dan karet diperkenalkan, yang mengarah ke peningkatan keuntungan secara dramatis bagi pra pengusaha swasta. Portofolio investasi perusahaan swasta tidak hanya berhenti pada pertanian dan perkebunan, tetapi merambah hingga eksplorasi dan produksi minyak di Sumatra dan Kalimantan menjadi sumber daya berharga bagi Belanda yang menjadi negara salah satu negara Eropa yang berpengaruh dalam hal industrialisasi. Komersialisasi kegaitan perdagangan diperluas dari Jawa ke luar pulau dengan semakin banyak wilayah yang berada dibawah kekuasaan Belanda hingga paruh kedua abad ke-19. Namun, akibat kelangkaan lahan untuk produksi beras, bersamaan dengan terjadinya peningkatan populasi, terutama di Jawa, mengakibatkan beras sulit untuk didapat.
Eksploitasi kekayaan Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap industrialisasi yang berlangsung di Belanda, sekaligus meletakkan dasar bagi industrialisasi di Indonesia. Belanda memperkenalkan kopi, teh, kakao, tembakau dan karet untuk ditanam di Jhamparan lahan yang subur di Pulau Jawa dibudidayakan oleh petani Jawa, yang dikumpulkan oleh pemerantaraan China, dan dijual diperdagangkan diluar negeri oleh pedagang dari Eropa. Pada akhir abad ke-19 pertumbuhan ekonomi didasarkan pada permintaan dunia untuk teh, kopi, dan kina. Pemerintah menginvestasikan jaringan kereta api (150 mil panjang pada tahun 1873, 1.200 pada tahun 1900), serta jalur telegraf. Hal ini menjadi nilai tambah bagi para pengusaha untuk mendirikan usahanya seperti bank-bank, toko-toko dan koran. Hindia belanda menjadi rumah bagi sebagian besar pasokan komoditas dunia dari kina dan merica, karet, kelapa, dan teh, gula, kopi, dan minyak. Keuntungan yang didapt dari Belanda dari Hindia Belanda membuat negara tersebut menjadi salah satu kekuatan kolonial dunia terkuat setelah Inggris dan Prancis. Koninklijke Paketvaart Maatschappij perusahaan pelayaran Belanda juga ikut berpartisipasi dalam penyatuan ekonomi kolonial dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat pengiriman antar pulau dari maupun menuju, daripada melalui Singapura, sehingga fokus kegiatan ekonomi lebih banyak di pulau Jawa.
Resesi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an mengakibatkan harga-harga komoditas jatuh dan Hindia Belanda yang ekonominya mengandalkan perdaganagn komoditas ikut terseret kedalam resesi ini. Wartawan dan pegawai negeri sipil mengaku bahwa sebagian besar populasi tidak lebih baik daripada masa peraturan sistem ekonomi tanah paksa dan hal ini mengakibatkan terjaidnya gelombang kelaparan di penjuru Hidia Belanda. Pulihnya kembali harga komoditas dari resesi, mengundnag peningkatan nilai investasi di Hindia Belanda. Produksi dan investasi perusahaan swasta dibidang gula, timah, kopra dan kopi perdagangan telah berkembang signfikan, dan karet, tembakau, teh dan minyak juga menjadi komoditas ekspor utama. Reformasi politik yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda mendorong daerah untuk memiliki otonomi daerah pemerintahan kolonial, bergerak dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.
Ekonomi dunia kembali sehat di akhir 1890-an dan semuanya kembali. Investasi asing, terutama dari Inggris mengalami peningkatan yang didorong. Pada tahun 1900, jumlah aset asing yang ada di Hindia Belanda mencapai nilai sebesar 750 juta guilders (US$300 juta) dengan dominan di Pulau Jawa.
Pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas seperti perluasan pelabuhan dan pembangunan serta perbaikan jalan-jalan adalah prioritas utama Belanda untuk mendorong terjadinya modernisasi ekonomi, fasilitasi perdagangan, dan mempercepat akses gerak militer. Pada tahun 1950, para insinyur belanda telah membangun dan meningkatkan kualitas jaringan jalan sepanjang 12.000 km permukaan beraspal, 41,000 km jalan cor dan 16.000 km dari permukaan kerikil. Selain itu, Wim Ravensteijn menyatakan bahwa Belanda telah membangun 7,500 km jalur kereta api, jembatan, sistem irigasi yang menjangkau 1,4 Juta Hektar lahan pertanian yang akan menjadi struktur ekonomi kolonial dan sesudah masa kolonial.

No comments:

Powered by Blogger.