EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Evaluasi Pendidikan Islam
Penilaian
atau evaluasi menurut Edwind Wand dan Gerald W. Brown adalah “The actor process
to determining the value of something”. (Wand, 19957:1). Penilaian dalam
pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai
sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut ilmu jiwa, evaluasi
berarti menetapkan fenomena yang dianggap berarti di dalam hal yang sama
berdasarkan suatu standar. (Yahya Kahar, 1972:1)
Evaluasi
pendidikan Islam dapat diberi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan
taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. (Nizar, 2002:77).
Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam rangka mengetahui
tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada
peserta didik. Sedangkan dalam dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan
untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan
Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan
pendidikan yang dicita-citakan.
Penilaian
dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan berbagai keputusan kependidikan,
baik yang menyangkut perencanaan, pengelolaan, proses, dan tindak lanjut
pendidikan, baik yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun kelembagaan.
(Depdikbud, 1983/1984:1). Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai
dengan nilai-nilai yang islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang
dicanangkan dapat tercapai. Disamping evaluasi terdapat pula measurement, yang berarti perbandingan
antara data kualitatif dengan data kuantitatif lainnya yang sesuai untuk
mendapatkan nilai angkanya.
Pengukuran
dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tentang
sesuatu yang akan dinilai. Ukuran atau patokan yang menjadi pembanding perlu
ditetapkan secara konkret guna menetapkan nilai atau hasil perbandingan. Hasil
penilaian tidak bersifat mutlak tergantung pada kriteria yang menjadi ukuran
atau pembandingnya. Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui dengan jelas
perbedaan antara evaluasi dan measurement. Measurement
memberi jawaban atas pertanyaan “how
value”.
Evaluasi
dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah
laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek
kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius karena manusia hasil
pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius,
melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti
kepada Tuhan dan masyarakatnya. (Arifin, 1991:238)
Dalam al-qur’an atau hadis
banyak sekali ditemukan tolok ukur evaluasi dan measurement dalam pendidikan
Islam. Misalnya tolok ukur shalat dengan baik dan sempurna adalah dapat
mencegah orang dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut (29) : 45).
Tolok ukur watak seseorang yang beriman adalah apabila ia melakukan shalat
dengan khusuk, membayar zakat, menjaga kemaluan terhadap wanita yang bukan
istri. (QS. Al-Mu’minun (23) : 2-5). Tolok ukur perilaku seseorang yang beriman
adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri (HR. Al-Bukhari
dari Anas). Tolok ukur seorang munafik disebutkan oleh Nabi n
dalam tiga indikasi, yaitu dusta dalam berbicara, ingkar dalam berjanji, dan
khianat apabila diberi kepercayaan (amanah). (HR. Al-Bukhari dari Abu
Hurairah).
B.
Tujuan
Dan Fungsi Evaluasi Pendidikan
Pendidikan
Islam secara rasional filosofis bertujuan untuk membentuk al-insan al-kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep ini,
pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi
dialektikal horizontal dan dimensi ketundukan vertikal. (Saefuddin, 1991:126)
Pada
dimensi dialektikal horizontal, pendidikan hendaknya dapat mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan konkret yang terkait dengan diri, sesama manusia,
dan alam semesta. Untuk itu, akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mental merupakan bekal utama dalam hubungannya dengan pemahaman tentang
kehidupan konkret tersebut. Sedangkan pada dimensi kedua, pendidikan sains dan
teknologi, selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan melestarikan
sumber daya alami, juga hendaknya menjadi jembatan dalam mencapai hubungan yang
abadi dengan Sang Pencipta, Allahl.
Dengan demikian, pelaksanaan ibadah dalam arti seluas-luasnya merupakan sarana
yang dapat mengantarkan manusia arah ketundukan vertikal kepada Allahl.
Secara
umum, tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Islam diarahkan pada dua dimensi di
atas. Apakah pendidikan Islam telah berhasil menggarap secara integral kedua
dimensi tersebut dalam praktiknya dilapangan? Sejauh mana pencapaian yang telah
diperoleh pendidikan Islam dalam kaitannya dengan pembentukan al-insan
al-kamil? Kendala apa saja yang dihadapi dalam proses kependidikan Islam untuk
mencapai tujuannya? Jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut hendaknya
terungkap melalui proses evaluasi yang dilakukan terhadap pendidikan Islam.
Semua ini merupakan tujuan umum pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan Islam.
Secara
khusus, tujuan pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan Islam adalah untuk
mengetahui kadar pemilikan dan pemahaman peserta didik terhadap materi
pelajaran, baik dalam aspek kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Sebagai
tindak lanjut dari tujuan ini adalah untuk mengetahui siapa diantara peserta
didik yang cerdas dan yang lemah. Implikasi dari konsep ini adalah adanya
penilaian perhatian terhadap peserta didik ; kepada yang lemah diberi perhatian
khusus agar ia dapat mengejar dan memenuhi kekurangannya, sedangkan kepada yang
cerdas diberikan pengayaan agar ia terus meningkatkan kemampuannya ke arah yang
lenih baik lagi. Kemudian tujuan evaluasi dalam pendidikan Islam adalah untuk
menilai pendidik, yaitu sejauh mana ia telah bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dalam
pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap
(afektif dan psikomotor) ketimbang aspek kognitif (Nizar, 2002: 80). Penekanan
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara garis besar
meliputi empat hal, yaitu sebagai berikut.
1.
Sikap dan pengalaman terhadap hubungan
pribadinya dengan Tuhannya.
2.
Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan
dirinya dengan masyarakat.
3.
Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan
kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4.
Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri
selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allahl.
Keempat
kemampuan dasar tersebut dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan
teknis, yaitu :
a.
Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya
kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang
mencerminkan keimanan dan ketakwaan kepada Allahl.
b.
Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan
nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup bermasyarakat, seperti akhlak yang
mulia dan disiplin;
c.
Bagaimana peserta didik berusaha mengelola
dan memelihara serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia
merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia
berada;
d.
Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri
sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka
ragam budaya, suku, dan agama.
Seluruh
tujuan tersebut dapat dicapai melalui pelaksanaan evaluasi yang mengacu pada
prinsip-prinsip al-qur’an dan sunnah disamping menganut prinsip objektivitas,
kontinuitas, dan komprehensif. Sedangkan operasionalisasinya di lapangan dapat
dilakukan melalui berbagai bentuk evaluasi, test atau nontes, lisan atau
tulisan, pre test atau post test, dan sebagainya.
Secara
umum, ada empat fungsi evaluasi dalam pendidikan islam; pertama, dari segi pendidik, evaluasi berfungsi untuk membantu
seseorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan tugasnya. Kedua, dari
segi peserta didik, evaluasi berfungsi membantu peserta didik untuk dapat
mengubah atau mengembangkantingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik
lagi. Ketiga, dari segi ahli pikir
pendidikan Islam, evaluasi berfungsi untuk membantu para pemikir pendidikan
Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka
dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika
zaman yang senantiasa berubah. Keempat,
dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi
berfungsi untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan
pertimbangan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional
(Islam).
Semua
fungsi atau kegunaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebaikan dan
kelemahan pendidikan Islam dalam berbagai aspek dalam rangka peningkatan
kualitasnya di masa depan. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi dalam
pendidikan Islam memiliki umpan balik (feedback)
yang positif sifatnya kearah yang akan datang. (Nizar, 2002:77-78)
C.
Prinsip-Prinsip
Evaluasi Pendidikan Islam
Dalam
pelaksanaan evaluasi pendidikan Islam perlu dipegang beberapa prinsip, yaitu
evaluasi mengacu pada tujuan; evaluasi dilaksanakan secara objektif; evaluasi
bersifat komprehensif/menyeluruh; dan evaluasi dilakukan secara terus menerus
(kontinu).
1.
Evaluasi Mengacu Pada Tujuan
Setiap aktivitas manusia
sudah tentu mempunyai tujuan tertentu, karena aktivitas yang tidak mempunyai
tujuan berarti aktivitas/pekerjaan yang sia-sia. Nabi n menganjurkan kepada umatnya agar meninggalkan aktivitas
yang sia-sia tersebut. Hal ini dipahami dari hadis Nabi n :
مِنْ
حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Sebagian dari kebaikan
keislaman seseorang ialah dia akan meninggalkan segala aktivitas yang tidak
berguna baginya (sia-sia). (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Agar
evaluasi sesuai dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan maka evaluasi juga
perlu mengacu kepada tujuan. Tujuan sebagai acuan ini harus dirumuskan terlebih
dahulu, sehingga dengan jelas menggambarkan apa yang hendak dicapai. Apabila
tujuan tersebut ditetapkan dengan menggunakan taksonomi Bloom, dkk., maka dapat
dilakukan kajian tentang kognitif, afektif, dan psikomotor apa yang dimilki
oleh peserta didik sebagai hasil belajarnya. Dan diperlukan pula bentuk-bentuk
atau perjenjangan dari ketiga domain tersebut, sesuai dengan program kurikulum
yang ditetapkan.
2.
Evaluasi Dilaksanakan Secara Objektif
Objektif
dalam arti bahwa evaluasi tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,
berdasarkan fakta dan data yang ada tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur
subjektivitas dan evaluator (penilai).
Objektif
dalam evaluasi antara lain ditunjukkan dalam sikap-sikap evaluator sebagai
berikut.
a. Sikap
ash-shidqah, yakni berlaku benar dan
jujur dalam mengadakan evaluasi. Sebaliknya tidak bersikap dusta dan curang.
Sikap ini diperintahkan Allah sebagaimana firman-Nya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kamu orang-orang
yang benar. (QS. At-Taubah (9): 119)
Dalam hadis Nabi n
disebutkan :
فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الجَنَّةِ،وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَصْدُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
Sesungguhnya ash-shidq
(bersikap benar) itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke
surga. Seorang yang membiasakan diri bersikap benar, maka akan tercatat di sisi
Allah sebagai Shiddiq (orang yang
benar). (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Abdullah)
b. Sikap
amanah, yakni suatu sikap pribadi
yang setia, tulus hati, dan jujur dalam menjalankan sesuatu yang dipercayakan
kepadanya. Sebaliknya tidak bersikap khianat. Sikap ini diperintahkan oleh
Allah berdasarkan firman-Nya :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak.
(QS. An-Nisa’ (4) : 58)
Dan dalam hadis Nabi n disebutkan
:
أَدِّ
الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanah itu
kepada orang yang mempercayakan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang
yang mengkhianati engkau. (HR. At-Tirmidzi dari Anas)
c. Sikap rahmah dan ta’awun, yakni sikap kasih
sayang terhadap sesama dan sikap saling tolong-menolong menuju kebaikan. Sikap
ini harus dimiliki oleh evaluator sebagaimana firman Allah : “Mereka saling
berpesan dengan kesabaran, mereka saling berpesan dengan kasih sayang.” (QS.
Al-Balad (9) : 17); “Hendaklah kamu sekalian saling tolong-menolong dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah (15) : 2).
Di
dalam hadis Nabi n disebutkan
:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidaklah
(dipandang) beriman sesorang dari kamu, sehingga disukainya untuk saudaranya
apa yang disukainya untuk dirinya sendiri. (HR. Al-Bukhari dari Anas)
مَنْ لَايَرْحَمِ النَّاسَ
لَايَرْحَمُهُ الله
Siapa yang tidak berbelas kasih kepada
manusia, niscaya Allah tidak berbelas kasih pula kepadanya.
(HR. Baihaqi dari Jarir)
3.
Evaluasi Harus Dilakukan Secara Komprehensif
Hal
ini berarti bahwa evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, meliputi berbagai
aspek kehidupan peserta didik, baik menyangkut iman, ilmu, maupun amalnya. Ini
dilakukan karena umat Islam memang diperintahkan untuk mempelajari, memahami,
serta mengamalkan Islam secara menyeluruh. Sebagaimana firman-Nya :
يٰۤاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا
تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ
اِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah (2) : 208)
Dengan demikian, evaluasi pendidikan Islam pun harus dilakukan secara
menyeluruh, yang mencakup aspek kehidupan peserta didik.
4.
Evaluasi
Harus Dilakukan Secara Kontinu (Terus Menerus)
Apabila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai
suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka evaluasi pendidikannya
pun dilakukan secara kontinu (terus menerus), dengan tetap memperhatikan
prinsip pertama (objektivitas) dan prinsip kedua (harus dilakukan secara
komprehensif) sebagaimana uraian terdahulu.
Prinsip keempat ini ini selaras dengan ajaran
istiqamah dalam Islam, bahwa setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman
kepada Allah, yang diwujudkan dengan senantiasa mempelajari Islam, mengamalkan,
serta tetap membela tegaknya agama Islam, sungguh pun terhadap berbagai
tantangan dan rintangan yang senantiasa dihadapinya.
Nabi n pernah ditanya oleh sahabatnya sebagai berikut.
قُلْ
لِيْ فِيْ الْاِسْلَامِ قَوْلَا لَا أَسْأَل عَنْهُ أَحَدَا بَعْدَكَ (وَفِيْ
حَدِيْثٍ اَبِيْ اُسَامَة غَيْرِكَ). قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ”
Sufyan bin Abdullah Ats-Tasaqafi bertanya :”Ya Rasulallah, ajarkan
kepadaku suatu kalimat yang menyimpulkan pengertian Islam, sehingga aku tidak
akan bertanya lagi kepada seorang pun selain engkau.” Nabi n menjawab : “ katakanlah aku beriman kepada Allah
kemudian beristiqamahlah kamu.”
Mengingat ajaran Islam harus dilakukan secara istiqamah (kontinu), maka
evaluasi pendidikan Islam pun harus dilakukan secara kontinu pula, sehingga
tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara optimal.
D. Jenis
Evaluasi Pendidikan Islam
Jenis-jenis evaluasi dapat dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang menetapkan
tingkat penguasaan manusia didik dan menentukan bagian-bagian tugas yang belum
dikuasai dengan tepat.
2. Evaluasi sumatif, yaitu penilaian secara umum tentang
keseluruh hasil dari proses belajar mengajar yang dilakukan pada setiap akhir
periode belajar mengajar secara terpadu.
3. Evaluasi diagnostic ialah penilaian yang dipusatkan
pada proses belajar mengajar dengan melokasikan suatu titik keberangkatan yang
cocok. Misalnya mengklasifikasikan peserta didik sesuai kesamaan minat, bakat,
keribadian, latar belakang, kecerdasan, keterampilan, dan riwayat pendidikan,
atau pendugaan, atau penguasaan strategi belajar mengajar tertentu, atau metode
tertentu yang hendak direalisasikan. Untuk mengetahui apakah peserta didik
mempunyai perilaku tertentu sewaktu belajar awal atau memiliki keterampilan
tertentu yang menjadi prasyarat bagi kepandaian dan tujuan unit pengajaran yang
direncanakan di sekolah. Di samping itu, evaluasi diagnostik ini juga bertujuan
untuk membentuk dan mengembangkan suatu pengertian yang telah dikuasai peserta
didik serta untuk menetapkan tahap-tahap program berikutnya.
4. Evaluasi
penempatan (placement evaluation) yang menitik beratkan pada penilaian tentang
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan :
a. Ilmu
pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang diperlukan untuk awal proses
belajar mengajar;
b. Pengetahuan
peserta didik tentang pengajaran yang telah ditetapkan sekolah;
c. Minat
dan perhatian, kebiasaan bekerja, corak kepribadian yang menonjol yang
mengandung konotasi kepada suatu metode belajar tertentu, misalnya belajar
berkelompok dan sebagainya. (Arifin, 1991:245)
Meskipun dalam sumber ilmu
pendidikan Islam klasifikasi jenis evaluasi di atas tidak kita temukan secara
eksplisit, namun dalam praktik dapat diketahui bahwa pada prinsipnya
evaluasi-evaluasi sejenis itu juga seringkali kita temukan, baik dalam
firman-firman Allah dalam al-qur’an maupun sunnah Nabi n.
Misalnya, murid-murid Al-Kuttab pada periode awal perkembangan Islam hanya
ditetapkan untuk anak-anak. Demikian juga Zawiyah, hanya diikuti oleh
orang-orang yang berminat sama yaitu tasawuf. Juga prinsip Ibnu Sina dalam
pemberian pelajaran yang harus dimulai dari yang mudah menuju pelajaran yang
susah mengingat kemampuan peserta didik yang belum dapat mengetahui secara cepat
bahan-bahan pengetahuan yang diberikan oleh guru. Dalam sejarah pendidikan
Islam terbukti bahwa setiap akhir unit pelajaran diselenggarakan “khataman”
sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Di madrasah-madrasah
di negeri kita sejak dahulu telah dikenal sistem imtihan atau ujian.
E.
Syarat-Syarat
Evaluasi Pendidikan Islam
Syarat-syarat
yang dapat dipenuhi dalam proses evaluasi penndidikan Islam adalah sebagai
berikut :
1. Validity.
Tes harus dilakukan berdasarkan hal-hal yang seharusnya dievaluasi, yang
meliputi seluruh bidang tertentu yang diinginkan dan diselidiki, sehingga tidak
hanya mencakup satu bidang. Soal-soal tes harus memberi gambaran keseluruhan
(representatif) dan kesanggupan anak mengenai bidang tersebut.
2. Reliable.
Tes yang dapat dipercaya yang memberikan keterangan tentang kesanggupan peserta
didik yang sesungguhnya. Soal yang ditampilkan tidak membawa tafsiran yang
macam-macam.
3. Efisiensi.
Tes yang mudah dalam administrasi, penilaian, dan interpretasinya. Allahl
berfirman : “ Maka dia akan dievaluasi dengan pengevaluasian yang mudah.” (QS.
Al-Insyiqaq (84) : 8).
No comments: